Oleh: Fajar Sandy
___________
Pendahuluan: Janji Pukul 3, Datang Pukul 5
Di setiap lingkar pertemanan, selalu ada satu orang (atau lebih) yang terkenal dengan kebiasaannya datang terlambat. Sudah janjian jauh-jauh hari, sudah diingatkan berkali-kali, tapi tetap saja dia datang terakhir—kadang bahkan saat acara hampir selesai. Ketika ditanya keberadaannya, jawaban keramat pun keluar:
"Otw, Bro!"
yang ironisnya, seringkali dikirim sambil masih pakai sarung di rumah atau baru buka mata dari tidur yan kesiangan, fenomena ini begitu umum terjadi di lingkungan pertemanan sehari-hari kita hingga kadang terasa “normal” dilakukan banyak orang, tapi apakah ini sekadar kebiasaan buruk, bentuk ketidaksopanan, atau ada hal yang lebih dalam di baliknya?
Budaya Ngaret: Warisan Tak Tertulis?
Istilah “jam karet” bukanlah hal asing di telinga masyarakat Indonesia. Seolah-olah waktu bisa ditarik-ulur seperti karet, budaya ini menjamur dalam berbagai aktivitas, mulai dari pertemuan informal antar teman, rapat kantor, hingga acara resmi sekalipun.
Menurut antropolog, budaya ngaret di Indonesia berkaitan erat dengan budaya kolektif dan toleransi tinggi dalam hubungan sosial. Masyarakat cenderung lebih memaklumi keterlambatan sebagai bagian dari sikap santai dan fleksibel. Namun, ketika hal ini menjadi kebiasaan yang merugikan orang lain, toleransi tersebut berubah menjadi kejengkelan.
Psikologi Ngaret: Prokrastinasi Sosial dan Overconfidence
Dari sudut pandang psikologi, perilaku suka telat bisa dikaitkan dengan procrastination (menunda-nunda) dan overconfidence bias—keyakinan berlebihan bahwa "Saya masih punya waktu" atau "Perjalanan cuma sebentar kok". Orang yang ngaret sering kali meremehkan waktu persiapan dan perjalanan, hingga akhirnya waktu habis dan mereka tetap telat.
Dalam beberapa kasus, keterlambatan juga bisa menjadi bentuk kontrol tersembunyi dalam hubungan sosial. Orang yang suka datang terlambat, secara tak sadar, memosisikan dirinya sebagai pusat perhatian—karena semua orang sudah menunggu kehadirannya.
"Si Alan, Otw!": Ketika Fenomena Jadi Inspirasi di Lagu Terbaru Kos Atos
Lagu “Si Alan, Otw!” dari band Kos Atos menjadi salah satu contoh bagaimana fenomena sosial ini diterjemahkan ke dalam karya seni. Dengan lirik jenaka dan nada yang ringan, lagu ini menyindir dengan halus tapi tajam kebiasaan ngaret yang sering dianggap sepele, padahal berdampak nyata.
Melalui musik, Kos Atos tidak hanya menghibur tapi juga mengajak pendengar untuk berkaca: berapa kali kita bilang “otw” padahal baru masuk kamar mandi? Lagu ini menyuarakan kegelisahan kolektif atas ketidakjujuran kecil yang telah menjadi norma.
Mungkin bagi si pelaku ngaret, keterlambatan hanyalah masalah kecil, tapi bagi yang menunggu, itu adalah bentuk lain dari ketidakpedulian terhadap situasi, dalam jangka panjang, hal ini bisa merusak hubungan, menghilangkan kepercayaan, bahkan menurunkan respek.
Di dunia profesional, keterlambatan yang berulang bisa memberi kesan tidak disiplin dan tidak bertanggung jawab, bahkan dalam konteks pertemanan, terlalu sering ngaret bisa membuat seseorang dijauhi karena dianggap merepotkan.
Terakhir: Apakah Kamu Si Alan?
Fenomena teman ngaret bukan hal baru, tapi tetap relevan dibicarakan. Karena di balik tawa dan candaan soal “Otw, Bro!”, ada pelajaran penting tentang menghargai waktu dan menjaga kepercayaan dalam hubungan sosial.
Jadi, sebelum kamu kirim pesan “otw”, coba lihat dulu: kamu sudah pakai sepatu atau masih pakai handuk?
Dengerin juga lagu terbaru Kos Atos yang berjudul "Si Alan, Otw" yang tersedia melalui berbagai digital music platform spotify, apple music, joox dan sebagainya
Posting Komentar